Perjalanan
menuju Jepang adalah perjalanan pertama kali keluar negeri kali ini sehingga
cukup membuat grogi dan bingung. Apalagi dalam masalah bahasa. Pertama adalah masalah makanan halal dan sholat. Saat menanyakan apakah makanan yang diberikan oleh pramugari Japan Airlines
halal atau bukan. Mereka menjawab apricorn tapi setelah dipikir-pikir mungkin
adalah free pork. Waktu makan di kantin juga mengalami hal yang sama. Untungnya
waktu itu ada tutor yang menerangkan. Akhirnya berakhir dengan makan sayuran
goreng yang rasanya enak banget. Mungkin karena kelaparan belum makan. Waktu
beli makanan dan minimarket, penjualnya juga tidak begitu lancar berbahasa
Inggris. Jadi saat ditanya apakah tidak ada daging bagi, dia tidak mengerti.
Padahal sudah berusaha menekan-nekan hidung supaya mirip babi ternyata juga
tidak mengerti. Minum bisa pakai air kran. Tidak perlu dimasak. Beberapa
mungkin memasaknya. Beberapa ada yang pakai semacam ceret dengan saringan. Tapi
saya langsung minum. Banyak orang jepang yang tidak bisa berbahasa Inggris. Ya kayak orang Indonesia. Namun, mereka akan tetap menjelaskan apa yang kita tanyakan meski dengan bahasa Jepang. Saat orientasi, mereka menggunakan bahasa Jepang dan bahasa Inggris di depan semua mahasiswa Internasional. Beberapa dokumen untuk mahasiswa internasional dalam 2 bahasa. Kalau di Indonesia, kebanyakan kalau ditujukan untuk mahasiswa internasional langsung pakai bahasa Inggris. Jarang yang pakai 2 bahasa. Karena tidak ada adzan dan tidak tahu arah kiblat akhirnya sering telat dan bingung harus menghadap kemana.
Kedua,
masalah mandi, toilet dan bersih-bersih. Di asrama tempat tinggal ternyata
dibedakan antara toilet dan kamar mandi. Toilet untuk urusan buang air kecil
memakai sistem sensor. Jika kita akan pipis, air menyala selama beberapa detik
dan setelah kita pipis, meninggalkan tempat maka air akan menyala lagi.
Masalahnya adalah, tidak bisa memcuci kemaluan tanpa harus meninggalkan tempat
pipis. Kemudian buang air besar. Toilet kering jadi tidak ada air juga untuk
membersihkan dubur. Cuman ada tissue. Ini yang sedikit menyiksa karena tidak
biasa untuk bertayammum. Terasa masih kotor terus-terusan. Kamar mandi memakai
sistem koin. Masukkan koin 100 yen dan air akan keluar selama 9 menit. Bisa di
stop untuk maksimal 5 menit. Tapi, selama ini mandi tidak sampai 9 menit.
Merasa rugi sih. Mencuci baju juga pakai koin 100 yen. Mengeringkan baju juga
pakai 100 yen. Kedua terakhir ini belum mencoba. Maksimal 4.5 kg, jadi menunggu
pakaian jadi 4.5 kg dulu.
Ketiga,
cuaca. Waktu datang sedang hujan. Tidak begitu dingin karena masih musim panas.
Akan tetapi lebih dingin dari Bandung. Ada untungnya sih, bikin pakaian tidak
cepat bau keringat. Jadi lebih irit. Entahlah kalau nanti waktu musim dingin.
Cuaca bisa dilihat lewat website apakah besok hujan apa tidak. Jadi tidak
terlalu repot bawa payung kemana-mana.
Keempat,
transportasi. Kebanyakan memakai sepeda, jalan kaki, naik bus. Sepeda adalah
hal penting. Hari ketiga di sini baru bisa beli sepeda. Berangkat sendiri ke
toko sepeda dengan naik bus lalu jalan kaki. Dengan bahasa Jepang yang blepotan
dicampur bahasa Inggris. Pas pertama, sempat terbawa ketakutan akan mobil di
Indonesia. Di sini, jalan kaki dan sepeda lebih didahulukan. Kebanyakan mereka
akan berhenti bahkan saat melihat kita baru akan menyeberang. Hampir semua
penyeberangan ada lampu lalu lintas bagi mobil dan pejalan kaki. Bagusnya,
pejalan kaki disini kalau lampunya sudah merah, meski tidak ada mobil atau
apapun yang melintas tetap akan diam di tempat tidak menyeberang. Di beberapa
jalan sepi tidak ada lampu lalu lintas namun, mobil-mobil biasanya akan pelan
sekali dan akan berhenti kalau ada yang hendak menyeberang. Sepeda berharga
sekali. Ada semacam plat nomernya dan terdaftar di kepolisian. Jika misalkan
beli sepeda bekas, pak polisi menyuruh untuk mengubah nama terdaftar agar nanti
kalau misalkan diperiksa, tidak disangka mencuri sepeda. Sepeda kalau baru bisa
diatas 15000 yen. Itu yang biasa banget.