Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al Baqarah : 285)
Ayat diatas menerangkan bagaimana menjadi seorang yang beriman. Pada saat surat ini diturunkan para sahabat merasa keberatan. Mereka mengatakan, mereka sanggup untuk sholat, mereka sanggup untuk berpuasa, mereka sanggup untuk bersedekah dan mereka sanggup untuk berjihad mengorbankan jiwa mereka. Namun, mengapa untuk ayat ini mereka tidak sanggup?
Karena mereka memahami betul konsekuensi dari ayat ini. Bukan berarti mereka suka membangkang terhadap Nabi SAW, atau berdebat dan mencari alasan seperti bangsa Israel yang suka membantah. Tetapi, mereka tidak sanggup untuk melaksanakannya. Perintah yang secara fisik mereka mampu lakukan walaupun sampai mengorbankan nyawa, tetapi perintah untuk “kami dengar dan kami taat” mereka masih tidak sanggup. Perintah yang tidak mengandung secara kongkrit apa yang harus dilakukan. Bukan karena mereka tidak percaya terhadap Nabi SAW.
Bukan. Tetapi mereka tahu seperti apa diri mereka. Pada zaman sahabat, tidak ada yang namanya pembagian hukum – hukum. Tidak adanya yang namanya ini wajib, ini sunnah, ini mubah, ini makruh. Maka, saat mereka diperintah untuk melakukan A, mereka harus melakukan A. Tak ada alasan untuk menolak. Tak ada udzur. Mereka harus langsung melakukannya. Oleh karena itu mereka tidak sanggup. Mereka masih manusia biasa yang bisa saja keliru atau berhalangan. Tetapi kemudian Nabi SAW mengingatkan mereka agar tidak seperti orang – orang yahudi yang mengatakan kami dengar namun kami masih tetap bermaksiat. Allah telah menyinggungnya dalam surat An Nisa’ : 46
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata : “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula) : “Dengarlah’ sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) : “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan : “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An Nisa’ : 46)
Salah satu contoh yang lucu adalah saat seseorang menganggap remeh amalan yang makruh. Asalkan tidak dosa. Makruh adalah amalan yang dibenci oleh Allah. Tak tahukan kalau dunia seisinya milik Allah termasuk udara yang dihirupnya, harta yang diperolehnya dan masa depannya, surga atau neraka adalah berdasarkan ridho Allah. Maka tak takutkah mereka di benci Allah? Di benci Allah kok santai – santai. Nantang. Kalau kita kuliah dibenci dosen sesama makhluk yang tak ada seujung kukunya jika dibandingkan Allah takutnya minta ampun. Ini loh di benci Allah. Contohnya adalah merokok. Yang tegas bilang haram ya sudah haram. Selesai. Namun yang masih mentoleril dengan menghukumi makruh.
Kembali ke topik. Beberapa saat kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka dengan diturunkan ayat Al Baqarah : 286.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Al Baqarah : 286)
Bagaimana dengan kondisi kita saat ini? Apakah saat ini masih mempertanyakan apakah amalan ini wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram? Ataukah langsung menerima amalan ini tanpa banyak bantahan, berusaha mengamalkannya sesuai kemampuan kita? Kadang berusaha disalah artikan. Disebut berusahakan seorang yang belum mencoba dengan sungguh? Kadang berusaha disalah artikan dengan sebuah kata – kata menyerah. Menerima kelemahan dan karena dia lemah maka dia tak perlu repot – repot. Misalkan saja. Untuk para ikhwan. Kenapa tidak sholat malam? dia menjawab saya sudah berusaha bangun, tetapi dia tak pernah menyalakan alarm, tidak pernah berusaha untuk tidur lebih awal. Atau bahkan sudah bangun tetapi kembali tidur lagi karena dianggap masih ada waktu beberapa menit lagi. Allah telah meringankan perintah kami dengar dan kami taat sesuai dengan level keimanannya, dari yang semula harus benar – benar beriman sebenar – banarnya, menjadi tetap beriman tetapi masing – masing orang berbeda levelnya.