Sabtu, 10 Maret 2012

“... KAMI DENGAR KAMI TAAT...”


Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al Baqarah : 285)




Ayat diatas menerangkan bagaimana menjadi seorang yang beriman. Pada saat surat ini diturunkan para sahabat merasa keberatan. Mereka mengatakan, mereka sanggup untuk sholat, mereka sanggup untuk berpuasa, mereka sanggup untuk bersedekah dan mereka sanggup untuk berjihad mengorbankan jiwa mereka. Namun, mengapa untuk ayat ini mereka tidak sanggup?
Karena mereka memahami betul konsekuensi dari ayat ini. Bukan berarti mereka suka membangkang terhadap Nabi SAW, atau berdebat dan mencari alasan seperti bangsa Israel yang suka membantah. Tetapi, mereka tidak sanggup untuk melaksanakannya. Perintah yang secara fisik mereka mampu lakukan walaupun sampai mengorbankan nyawa, tetapi perintah untuk “kami dengar dan kami taat” mereka masih tidak sanggup. Perintah yang tidak mengandung secara kongkrit apa yang harus dilakukan. Bukan karena mereka tidak percaya terhadap Nabi SAW.
Bukan. Tetapi mereka tahu seperti apa diri mereka. Pada zaman sahabat, tidak ada yang namanya pembagian hukum – hukum. Tidak adanya yang namanya ini wajib, ini sunnah, ini mubah, ini makruh. Maka, saat mereka diperintah untuk melakukan A, mereka harus melakukan A. Tak ada alasan untuk menolak. Tak ada udzur. Mereka harus langsung melakukannya. Oleh karena itu mereka tidak sanggup. Mereka masih manusia biasa yang bisa saja keliru atau berhalangan. Tetapi kemudian Nabi SAW mengingatkan mereka agar tidak seperti orang – orang yahudi yang mengatakan kami dengar namun kami masih tetap bermaksiat. Allah telah menyinggungnya dalam surat An Nisa’ : 46

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata : “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula) : “Dengarlah’ sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan) : “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan : “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An Nisa’ : 46)

Salah satu contoh yang lucu adalah saat seseorang menganggap remeh amalan yang makruh. Asalkan tidak dosa. Makruh adalah amalan yang dibenci oleh Allah. Tak tahukan kalau dunia seisinya milik Allah termasuk udara yang dihirupnya, harta yang diperolehnya dan masa depannya, surga atau neraka adalah berdasarkan ridho Allah. Maka tak takutkah mereka di benci Allah? Di benci Allah kok santai – santai. Nantang. Kalau kita kuliah dibenci dosen sesama makhluk yang tak ada seujung kukunya jika dibandingkan Allah takutnya minta ampun. Ini loh di benci Allah. Contohnya adalah merokok. Yang tegas bilang haram ya sudah haram. Selesai. Namun yang masih mentoleril dengan menghukumi makruh.
Kembali ke topik. Beberapa saat kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka dengan diturunkan ayat Al Baqarah  : 286.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Al Baqarah : 286)

Bagaimana dengan kondisi kita saat ini? Apakah saat ini masih mempertanyakan apakah amalan ini wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram? Ataukah langsung menerima amalan ini tanpa banyak bantahan, berusaha mengamalkannya sesuai kemampuan kita? Kadang berusaha disalah artikan. Disebut berusahakan seorang yang belum mencoba dengan sungguh? Kadang berusaha disalah artikan dengan sebuah kata – kata menyerah. Menerima kelemahan dan karena dia lemah maka dia tak perlu repot – repot. Misalkan saja. Untuk para ikhwan. Kenapa tidak sholat malam? dia menjawab saya sudah berusaha bangun, tetapi dia tak pernah menyalakan alarm, tidak pernah berusaha untuk tidur lebih awal. Atau bahkan sudah bangun tetapi kembali tidur lagi karena dianggap masih ada waktu beberapa menit lagi. Allah telah meringankan perintah kami dengar dan kami taat sesuai dengan level keimanannya, dari yang semula harus benar – benar beriman sebenar – banarnya, menjadi tetap beriman tetapi masing – masing orang berbeda levelnya.

WANITA SEMPURNA


Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah kedalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).”
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.”
dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.  (At Tahrim 10 – 12)

Banyak para wanita yang mendambakan sosok suami yang luar biasa, sosok yang sempurna, yang mengerti urusan agama dengan alasan agar bisa membimbing mereka menuju jalan kebenaran agar bisa mengingatkan mereka. Maka sejatinya tidak selalu seperti itu. Kesalehan dan ketaqwaan seseorang murni berasal dari dirinya. Manusia tidak dapat merubah bahkan sekelas Rasulullah sekalipun jika Allah tidak berkehendak untuk memberinya hidayah. Allah yang maha mengetahui apakah orang ini layak diberi hidayah atau bukan. Begitu juga dengan bercita – cita memiliki suami yang sempurna untuk dapat membimbingnya dan mengubahnya. Tiga ayat terakhir surat At – Tahrim diatas member kita gambaran bahwa sesholeh apapun dan sesempurna bagaimanapun seorang suami, tetap sang istri harus berjuang sendiri untuk memperoleh hidayah. Tetap yang menentukan adalah kesholehan dirinya, bukan kesholehan dari sang suami. Kurang sholeh seperti apa Nabi Nuh dan Nabi Luth, istri dari beliau – beliau tetap saja tidak menjadi sholeh. Apakah kedua nabi itu kurang dalam memberikan bimbingan? Penulis berpendapat bukan karena kurang diberi bimbingan yang membuat menjadi kafir. Tetapi, murni dari dalam diri mereka. Bagaimana dengan Maryam binti Imran ibu dari Nabi Isa as dan Siti Asiyah istri fir’aun? Maryam tidak memerlukan suami yang membimbingnya untuk menjadi sholeh, karena memang dasar hatinya sholeh. Bahkan, Siti Asiyah bukan malah mendapatkan bimbingan tetapi justru siksaan dari sang suami agar menanggalkan keimanannya. Namun justru keimanan kedua wanita itu diabadikan di Al – Qur’an sebagai contoh bagi generasi berikutnya. Keimanannya mereka bisa dibilang telah mendapatkan sertifikat dari Allah SWT.

Rasulullah bersabda : “Sebaik – baik wanita penghuni surge itu adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun, dan Maryam binti Imran.” (HR. Ahmad)
Mereka adalah wanita – wanita luar biasa dari wanita luar biasa. Empatwanita yang terbaik dari yang baik. Tetapi, walaupun demikian diantara empat wanita tersebut masih ada tingkatannya lagi.
Rasul SAW bersabda, “Banyak lelaki sempurna, tetapi tiada wanita yang sempurna kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya keutamaan Asiyah dibandingkan sekalian wanita adalah sebagaimana keutamaan bubur roti gandum dibandingkan makanan lainnya.” (Shahih al – Bukhari no. 3411)

Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun justru menjadi wanita sempurna sekalipun suaminya tak pernah membimbingnya. Justru malah dia membuat ujian yang berupa suami yang kafir ini sebagai jalan menjadi yang terbaik. Wajar saja jika Khadijah dan Fatimah menjadi wanita yang paling utama diantara wanita penghuni surga, dimana disisi keduanya tampil sosok Muhammad dan sosok Ali bin Abi Thalib. Namun, bagaimana dengan Asiyah binti Fir’aun? Siksaan sang suami yang mengantarkan kematiannya, sungguh berat ujiannya, suami tempatnya bersandar ternyata menjadi sosok manusia yang terlaknat pernahkan ada manusia ummat nabi lain yang mengaku dirinya Tuhan? Itulah yang membuatnya sempurna, dalam penderitaannya, dia tetap beriman.

Begitu juga dengan Maryam binti Imran yang tak memiliki suami. Kehamilannya menjadi fitnah baginya. Tak ada sosok yang menjadi tempatnya curhat, bersandar atau berkeluh kesah. Hanya Allah tempatnya berlindung. Maka wajar baginya jika menjadi sosok wanita sempurna.
Siapakah diantara kalian yang akan menjadi sosok wanita sempurna?

Sabtu, 03 Maret 2012

Perlukah Menjadi Abu Bakar

Dalam sebuah acara pelatihan untuk para kader dakwah, seorang peserta bertanya, “jika dulu ada sosok – sosok sahabat yang luar biasa seperti Umar, Abu Bakar, Ali, ataupun mus’ab bin umar. Maka, siapakah sosok – sosok itu sekarang? Secara logika, kita memerlukan SDM yang kurang lebih sama dengan SDM pada zaman itu untuk mengantarkan ummat ini menuju kejayaannya. Sama seperti pada zaman para sahabat dulu yang mampu mengantarkan ummat islam menuju kejayaannya” kurang lebih demikianlah pertanyaannya.



Ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari pertanyaan tersebut.

1.    Benarkah logika demikian?
Secara sekilas memang benar pernyataan tersebut. Jika menginginkan output tertentu harus memasukkan inputan tertentu. Sebagai seorang yang berbasis teknik kimia, bias saya bilang tidak selalu. Kenapa? Karena antara input dan output ada proses. Analoginya adalah 3 gelas susu dari sapi yang sama tentunya memiliki kualitas susu yang kurang lebih sama. Akan tetapi, jika kita memasukkan kedalamnya 3 jenis bakteri yang berbeda, akan menghasilkan produk yang berbeda, bias menjadi keju, yogurt atau malah susu basi yang penuh belatung. Sosok – sosok hebat seperti Abu Bakar dan Umar tidaklah berguna apa – apa jika tidak disertai dengan proses yang bagus. Bisa jadi mereka malah menghancurkan dan bisa jadi mereka malah memperkuat. Tergantung sejauh mana ketaqwaan mereka, dan menurut saya, ketaqwaan seseorang itu memerlukan proses pembinaan.
Kita simak salah satu ayat Al – Qur’an berikut.

“Hai orang - orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang - orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al – Baqarah : 183)

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan - jalan (yang lain), karena jalan – jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al – An’aam : 153)

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang - orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (Al  Baqarah : 21)
Sekarang ini, kita tidak memerlukan sosok – sosok cloning dari Umar atau Abu Bakar. Kita tidak memerlukan kepribadian mereka, yang kita perlukan adalah sosok – sosok zaman sekarang yang bertaqwa. Bisa jadi bahkan lebih hebat dari pada kedua sosok tersebut. Bisa jadi bahkan adalah sebuah kesatuan dari beberapa orang. Sebuah kelompok yang seperti abu bakar dan sebuah kelompok seperti umar. Atau bahkan sosok abu bakar bukan dalam bentuk person. Tetapi dalam bentuk perusahaan yang mengsupport segala biaya dakwah. Tak masalah.
Disinilah pentingnya belajar sejarah. Ternyata, Ummat islam sudah pernah runtuh dalam pergantiaan dinasti. Tetapi, yang diperlukanbukansosok cloning sahabat.Tetapi, sosok – sosok orang bertaqwa.

Sosok – sosok inilah yang nantinya akan mendatangkan pertolongan Allah.

(Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: “Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?”
Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap - siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (Ali Imran : 124 – 125)

2.    Jika memang benar demikian. Lalu? Apakah itu sebatas teori?
Salah seorang teman saya mengatakan, saya ingin menjadi sosok seperti ummar. Saya ingin menjadi sosok seperi Abu Bakar. Maka itu adalah cita – cita mulia. Akan tetapi, kadang kita terlalu terlena dengan keistimewaannya saja. Saat dibacakan sejarah tentang mereka kita berdecak kagum. Tetapi, masih 1 dari 1000 orang yang meneladaninya. Para sahabat seperti Abu Bakar dan Ali dahulu saat diperintahkan sesuatu mereka tidak terlalu banyak cincong dengan mengatakan ini atau itu yang berupaya menghindar dari tanggung jawab.

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang - orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat – malaikat Nya, kitab – kitab Nya dan rasul – rasul Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda – bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul - rasul Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al Baqarah : 285)

Seperti itulah sosok orang yang beriman. Kami dengar dan kami taat.
Yang saya rasakan sekarang, terlalu banyak dari kita yang mengerti tetapi terlalu banyak yang hanya disimpan dalam hati, tidak disertai dengan tindakan. Bukankah kita diperintahkan untuk kami dengardan kami taat.
Contohnya saja. Rasulullah pernah bersabda :
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Makan satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim no 2059)

Pernahkah kita menemukan orang seperti ini? Jika kuliah dikampus ITS tentunya pernah. Saat buka bersama di masjid tercinta Manarul Ilmi. Disana 5 bungkus nasi untuk 6 orang. Namun, sesungguhnya, itu semua karena keterpaksaan. Bukan karena niatan yang tulus, bahkan ada yang menganggapnya bukan salah satu kategori makan. Karena terlalu sedikit baginya.

3.    Beranikah kau menjadi sosok Abu Bakar
Bagi yang menjawab berani, saya acungkan jempol. Berani menjadi sosok sekelas Abu Bakar berarti berani untuk menafkahkan semua hartanya untuk di jalan dakwah.hanya menyisakan Allah dan Rasul – Nya. Benar – benar keimanan bahwa Allah pemberi rizki yang totalitas. Banyak para ustadz yang berceramah tentang Allah yang menjamin rizeki. Bahwa cecak yang tak bersayap dengan makanan yang bias terbang tetap memperoleh rizki. Tetapi, adakah ustadz yang berani menafkahkan semua hartanya untuk kebutuhan dakwah? Dan menyisakan Allah dan Rasul – Nya? Sepanjang saya hidup saya belum menemuinya.

4.    Pemimpin kita, Indonesia
Susilo Bambang Yudoyono, sang presiden. Sungguh mengecewakan jika harus curhat karena gajinya tak naik. Saran saya, mengingat sang president seorang muslim. Beliau  harus dibacakan dan dipahamkan dengan sejarah salah satu sahabat yang bernama “SAID BIN AMIR”.