Sabtu, 07 Januari 2012

Menghadapi Dakwah Kampung


Salah satu peserta bertanya pada seorang ustadz di sebuah pertemuan.
“Ustadz, waktu kuliah dulu, saat saya berkecimpung di dakwah kampus. Sangat mudah untuk merekrut teman – teman saya. Sangat mudah untuk membuat kajian yang kita selenggarakan menjadi semarak. Namun, saat saya telah lulus dan mulai merambah ke dakwah kampung. Jangankan untuk merekrut dan mengajak menjadi panitia, untuk mendatangkan mereka hadir dalam pengajian saja susahnya luar biasa.”

Itu adalah salah satu bentuk pertanyaan yang saya yakin banyak diantara kita yang memilikinya. Sehingga kadang salah seorang kader dakwah, agar dakwahnya diterima. Harus menanggalkan segala bentuk atribut islam yang sudah sejak lama disandangnya. Sebenarnya, saya tidak setuju dengan menempuh jalan ini. Ibaratnya kita menelanjangi diri sendiri setelah berpakaian. Jikalau memang benar agama ini adalah agama yang terbaik. Maka, tak perlulah seorang juru dakwah harus menanggalkan atribut islamnya. Tak perlulah seorang akhwat mengecilkan pakaiannya. Lalu apakah yang salah sebenarnya?



Si ustadz balik bertanya kepada penanya, “akhi, seharusnya, saya yang harus bertanya kepada antum mengapa itu ternjadi?, jikalau antum adalah orang yang pertama dating ke masjid dan orang terakhir yang meninggalkan masjid. Mengapa antum tak bisa mengajak para takmir masjid. Jikalau antum benar – benar mengamalkan adab kepada tetangga dalam islam. Mengapa antum tak mampu mengajak tetangga di kanan kiri rumah antum. Jikalau antum adalah orang pertama yang menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Mengapa antum tak mampu meminta mereka.”


Benar. Saat dikampus. Kita berada dalam kalangan yang homogen yaitu kalangan intelektual. Maka, kita sentuh kebutuhan mereka dengan intelektual. Sedangkan di kampung, ada banyak kalangan di sana. mulai yang berpendidikan tinggi sampai yang tak pernah sekolah. Mulai yang ustadz hingga kalangan preman. Mulai saudagar kaya hingga miskin papa. Semua ada di sana.

Untuk itu, saat memasuki dakwah kampung. Seorang kader dakwah harus mampu menjadi kader yang adaptif dan solutif. Kader yang mampu beradaptasi dan memberikan solusi. Kader yang solutif adalah kader yang jika ada permasalahan dia mampu menyelesaikan permasalahan. Rasulullah SAW saat terjadi perselisihan siapakah kabilah yang layak memindahkan batu hajar aswad. Beliau menjadi solutif dengan menghamparkan sorbannya, meletakkan batu diatas sorbannya dan setiap kabilah bisa bersama – sama memindahkan batu hajar aswad.

Mari kita sedikit belajar dari peristiwa Fathul Makkah. Setelah peristiwa fathul makkah. Orang – orang sekitar makkah berbondong – bondong masuk islam. Karena mereka ingin melihat Rasulullah SAW yang solutif.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (1) Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat (3).” (An-Nasr: 1 – 3)


Secara kepribadian Rasulullah SAW memang menunjukkan sosok seorang Rasul, mereka tahu itu. Sebelum peristiwa fathul makkah, masyarakat sekitar makkah menunggu Rasulullah masuk menaklukkan mekkah. Karena, jika memang benar Muhammad adalah Rasul, mengapa dia terusir dari negerinya sendiri. Mengapa dia tak mampu masuk kembali ke makkah. Mengapa seorang Rasul kalah. Sama dengan kita, jikalau seorang kader dakwah yang menyerukan islam adalah agama yang sempurna. Kenapa dia tidak banyak berinfak. Kenapa tetangganya masih kesulitan.

Ayo, sebagai seorang kader dakwah. Kita mulai memperhatikan orang – orang disekitar kita dan jadilah kader dakwah yang adaptif dan solutif.
Allahu akbar
Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar