Memaknai sekolah
Di sebuah desa, dipelosok kampong sana, yang mungkin keberadaannya tak dikenal. Bisa jadi masih ada sekolah yang berfungsi sebagaimana mestinya. Kau pasti tak mengerti. Karena aku tahu, banyak dari kita yang sekolah bukan karena kata hatinya. Bukan karena rengekan manja anak usia 5 – 7 tahun yang menarik – narik daster ibunya untuk diantar ke sekolah. Ah, terlalu berlebihan jika harus diantar. Dia bahkan hanya butuh sebuah kata yang terdiri dari dua huruf. “ya” sebagai tanda izin bahwa dia boleh ke sekolah. Sendiri.
Kebanyakan anak sekarang adalah berjalan karena sistematisnya demikian, play group, lalu TK, SD, SMP, SMA, dan akhirnya kuliah. Sebagian mungkin masih beruntung karena jurusan yang dipilihnya adalah sesuai dengan kemampuan dia dilahirkan. Namun, sebagian lagi karena “uang”. Kau mungkin kaget saat aku bilang demikian. Namun, aku punya definisi yang berbeda kawan. Aku anggap kau sekolah karena uang saat kau memilih jurusan berdasarkan pekerjaan. Aku anggap karena uang saat kau memilih jurusan karena disana ada ikatan kerja. Bukan murni karena kau suka, dan ternyata ada ikatan kerja juga. Maka itu adalah rezekimu kawan.
Sekolah yang berfungsi sebagai mana mestinya adalah sekolah sebagai tempat belajar. Siswa bagaimanapun bisa dating ke sana, merasakan sejuknya ilmu pengetahuan. Dia dating murni karena hatinya yang mengarahkan. Maka dia akan duduk dengan senyum lebar, mata terbelalak lebar dan adrenalin yang bergelombang. Kau pasti punya banyak alasan. Tapi, bukankah seharusnya demikian yang namanya sekolah. Tak perlu ada standart – standart yang memberatkan. Seperti “harus” membayar sekian rupiah. Itu membuat kami tercekik kawan. Memang sekolah memerlukan dana operasional. Namun, sejatinya, anak – anak miskin itu hanya perlu duduk saja. Tak masalah jika kau tak memberinya kursi. Tak masalah jika ia hanya menjadi penonton saat diadakan praktikum. Karena untuk biaya praktikum perlu dana. Memang itu terkesan amburadul, tidak sistematis dan segala ketidak profesionalisme. Tapi, itu lebih manusiawi. Bukankah kau itu manusia?